Jumat, 17 Desember 2010

Obyek Wisata Purworejo: Geger Menjangan





Sumber: http://guspur.wordpress.com/2010/01/04/obyek-wisata-purworejo-geger-menjangan/

Geger Menjangan merupakan wisata alam yang indah, terletak di tepi jalan raya Purworejo-Magelang. Lokasinya masih di kawasan Kota Purworejo sehingga sangat mudah dijangkau. Kawasan Geger Menjangan meliputi areal seluas 25 hektar.

Di dalam kawasan Geger Menjangan terdapat makam ulama besar Purworejo Kyai Imam Puro yang setiap menjelang bulan puasa dikunjungi puluhan ribu peziarah dari berbagai daerah di Jawa.
Pemandangan di atas Geger Menjangan sangat indah. Di puncak Geger Menjangan terdapat gardu pandang untuk melihat pemandangan yang indah di bawah.



Sumber: http://guspur.wordpress.com/2010/01/04/obyek-wisata-purworejo-geger-menjangan/

Jenglot Laki-laki “Menghuni” Museum Tosan Aji



Purworejo, Cybernews. Anda pasti pernah mendengar benda yang bernama jenglot. Sebuah benda yang diyakini banyak orang mengandung tuah itu sudah lekat dalam kehidupan masyarakat. Bahkan tidak sedikit yang meyakini jenglot sebagai “makhluk hidup” yang memiliki energi supranatural dan kekuatan magis yang bisa berpengaruh bagi kehidupan si empunya.

Jika selama ini Anda hanya mendengar nama tapi belum pernah melihat bentuknya, mungkin untuk menjawab rasa penasaran, Anda bisa mengunjungi museum tosan aji (MTA) yang ada di jalan Mayjend Sutoyo, Purworejo.

Sejak sebulan terakhir, jenglot menjadi “penghuni” baru di obyek wisata sejarah tersebut. Kedatangan jenglot di MTA ini bukan dimaksudkan untuk menggiring logika masyarakat terhadap hal-hal yang bersifat mistis, tapi keberadaanya dipahami sebagai salah satu produk budaya masyarakat dan layak untuk diketahui.

“Jenglot ini tidak dikaitkan dengan hal-hal yang supranatural. Kami memajangnya hanya ingin menjadikannya sebagai daya tarik wisata baru. Juga agar dipahami masyarakat bahwa jenglot itu bagian dari produk budaya masyarakat, khususnya Jawa,” papar Kepala UPT MTA Tri Yuliana yang ditemui di kantornya, Jumat (19/3).

Dia berharap, MTA yang selama ini sepi pengunjung bisa ramai dengan adanya tambahan koleksi jenglot. Sehingga akan berdampak positif bagi perkembangan sektor pariwisata, khususnya wisata sejarah di Kabuaten Purworejo.

Diceritakan Tri, jenglot yang diberi nama Bethoro Untung itu sebenarnya termasuk “tamu tak diundang”. Kedatangannya dan kemudian menjadi penghuni MTA bermula saat salah satu karyawan MTA bernama Subowo dari temannya yang bernama Untung, warga Magelang.

“Pak Untung datang kesini dan menemui Mas Bowo. Dia membawa jenglot yang kemungkinan laki-laki. Entah pertimbangannya apa, benda itu diberikan Mas Bowo,” ujarnya menjelaskan asal mula koleksi jenglot tersebut.

Namun, setelah mendapatkan barang yang dianggapnya aneh itu, Bowo tidak berani membawanya pulang. Selanjutnya, atas kesepakatan bersama diputuskan disimpan bersama benda bersejarah lainnya di museum.

Dijelaskan Tri, keberadaan jenglot sendiri hingga kini masih menuai kontroversi. Sebagian orang meyakini bahwa jenglot merupakan perwujudan manusia yang sedang menimba ilmu magis dalam jangka waktu yang lama. Sementara sebagian lainnya meyakini jenglot tidak lebih dari sekedar benda pusaka, seperti batu akik atau keris.

Mendasarkan pada berbagai literatur yang dibacanya, Tri menjelaskan adanya sebagian orang yang mengaitkan jenglot dengan ilmu hitam yang memiliki banyak fungsi. Di sisi yang lain, misalnya aspek ilmiah belum bisa dipastikan jenglot sebagai mahkluk hidup karena tidak memiliki organ tubuh.

Ahli forensik di RSCM Jakarta sebenarnya sudah pernah melakukan penelitian dengan berbagai teknik metodologi, termasuk foto scan. Hasilnya, jenglot tidak memiliki organ tubuh vital, seperti jantung, tulang, dan yang lain. Hasil ini secara otomatis meragukan bahwa jenglot termasuk makhluk hidup.

Penelitian lain yang pernah dilakukan dokter Djaja Surya Atmaja PhD, dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa contoh kulit jenglot yang diperiksa memiliki karakteristik sebagai DNA (deoxyribosenucleic acid) manusia. Namun Djaja menolak anggapan seolah dia mengakui jenglot sebagai manusia.

Dari penelusuran beberapa literatur, Djaja memeriksa DNA Jenglot pada lokus nomor D1S80 dari kromosom 1 dan HLA-DQA1 dari kromosom 5, serta lima lokus khusus lain dengan teknik PCR (polymerase chain reaction). Pemeriksaan HLA-DLA-DQA1 memberikan hasil positif. Spesimen jenglot itu berasal dari keluarga primata-bisa monyet, bisa pula manusia. Namun dari penyelidikan atas lokus D1S80, Djaja mendapat kepastian bahwa sampel DNA itu berkarakteristik sama dengan manusia. Temuan mengejutkan itu diperkuat dengan kajian mesin PCR.

Lepas dari kontroversi itu, Tri hanya ingin menjadikan MTA sebagai media tempat belajar masyarakat tentang benda-benda bersejarah dan menyertai peradaban umat manusia.

Staf Museum, Subowo menambahkan, untuk menyimpan jenglot tersebut tidak memerlukan persyaratan khusus. Termasuk mitos aneh “mengkonsumsi darah” juga tidak di lakukan. Pihak museum menempatkan jenglot di sebuah toples teransparan dan diletakkan satu ruang bersama gamelan Cokronegoro I dan batu bersejarah.

Jenglot itu memiliki ketinggian sekitar 15 sentimeter dan berwarna hitam pekat. Di bagian tubuhnya banyak ditumbuhi rambut dengan dua taring memanjang di mulutnya. Di bagian bawah pusar dibungkus dengan kain kafan putih. Bagian mata juga sengaja ditutup dengan kain kafan ukuran kecil.
sumber: * suara merdeka
* http://purworejoberirama.wordpress.com/2010/03/19/jenglot-laki-laki-menghuni-museum-tosan-aji/

Rabu, 15 Desember 2010

Purworejo "Tempo Doeloe"

Sekedar berbagi beberapa foto-foto mengenai purworejo pada masa lalu "tempo doeloe" sekaligus mengarsipkan foto-foto tersebut di blog ini.
Foto-foto tersebut diambil dari beberapa sumber di internet.
Bagi saya terus terang foto-foto tersebut membuat "nuansa lain" hingga menimbulkan perasaan "tanda tanya" tentang seperti apa Purworejo pada masa lalu. Jika melihat foto tersebut kita akan tahu bahwa kota Purworejo sudah berumur tua dan sebenarnya kota Purworejo pada masa lalu tak jauh berbeda dengan kota-kota lain yang bahkan sekarang ini menjadi kota besar.















Coba Tebak Yang Di Atas Foto Apa aja...?
Sumber : http://www.purworejo.asia/2009/07/purworejo-tempo-doeloe.html

Benteng Pendem






Oleh: Hendri Utomo (Alumnus Ilmu Sejarah UNY)
Benteng Pendem terletak di Desa Kalimaro, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo. Benteng tersebut menyimpan sejarah eksistensi Jepang di Kabupaten Purworejo. Dari ranah historis, awal mula pendirian Benteng Pendem tepatnya setelah Jepang resmi menyusun kekuatan di semua negara jajahannya, termasuk Indonesia, pada 7 Maret 1942.
Sistem yang diterapkan Jepang untuk memperkuat pertahanan di negara koloninya yaitu dengan cara menguasai Buttai (Batalion dalam istilah Jepang, Red) di setiap titik-titik yang dianggap strategis. Tangsi Belanda di Purworejo akhirnya tak luput dari target penguasaan Jepang.
Setelah menguasai tangsi, Jepang mengembangkan sistem pertahananya dengan membuat benteng-benteng pertahanan untuk menangkal serangan musuh baik dari laut maupun udara. Upaya itu akhirnya direalisasikan.
Jepang segera mengutus 15 orang Heiho untuk menyelidiki perbukitan di daerah Kalimaro, Kecamatan Bagelen, Purworejo. Letaknya terbukti cukup strategis yakni di atas perbukitan dengan jangkauan pandangan cukup jelas ke laut lepas Samudera Hindia. Jepang akhirnya memantapkan diri untuk segera membuat sebuah benteng pertahanan di daerah tersebut.
Sekitar 15 orang Heiho melakukan Ormed (Orientasi Medan). Lima belas utusan berpencar, tujuh orang ke Kalimaro melewati Dusun Bapangsari dengan rute menyusur gunung Buthak. Sementara 8 orang serdadu Jepang lainnya berangkat menyusur dari arah Stasiun Wojo dan melewati Watukandang hingga sampai ke Kalimaro.
Orientasi cukup berhasil dan 15 utusan tersebut pulang melewati Desa Tlogokotes yang saat itu masih tergabung dengan Desa Somorejo. Rencana pembangunan benteng berlanjut, beberapa hari kemudian Jepang mendatangi Desa Tlogokotes, kemudian mengumpulkan perangkat desa dengan tujuan meminta bantuan. Akhirnya dikumpulkanlah para Kucho (Kepala Desa) dan Kucho yang berhasil dikumpulkan yaitu Partodiwiryo (Kucho Somorejo), Somodiharjo (Kucho Bapangsari) dan R. Cokro (Kucho Dadirejo). Ketiganya kemudian dimintai bantuan.
Dalam pertemuan itu Jepang meminta tanah warga seluas 500 hektar yang terdiri dari 135 hektar tanah di Desa Tlogokotes, 197 hektar tanah di Desa Bapangsari dan 174 hektar tanah di Desa Dadirejo.
Tidak hanya cukup dengan merampas, Jepang juga meminta kepada para Kucho untuk menyediakan peralatan serta tenaga manusia guna pembangunan. Keinginan Jepang terpenuhi, masing-masing desa akhirnya sanggup menyediakan sekitar 200 orang pekerja. Para pekerja tersebut diupah sesuai jabatannya. Pekerja kuli dibayar 25 sen, tukang 50 sen, mandor 75 sen dan kepala mandor mendapatkan 1 rupiah.
Dengan tenaga yang diperoleh dari tiga desa tersebut, ternyata Jepang masih kekurangan tenaga, akhirnya mendatangkan romusha (pekerja paksa) dari luar daerah. Nasib mereka lebih tragis, mereka dipaksa terus bekerja dan tidak dibayar.
Proses pembangunan Benteng Pendem dikerjakan secara bertahap. Tahap awal, Jepang membuat jalan sepanjang 4 km dari jalan raya Desa Krendetan. Jalan itu dibuka dengan cara memerintah para pekerja untuk menebangi pohon kelapa, sementara batang pohon itu dibelah menjadi dua dan ditata sebagai alas jalan. Warga setempat pada waktu itu lebih akrab mengenalnya dengan jalan Palori Glugu.
Setelah Jepang selesai membuat jalan, kemudian membuat pagar kawat berduri seluas 500 hektar yang dipasang di daerah yang dianggap rahasia dan hanya khusus serdadu Jepang yang boleh berada di dalamnya. Karena tertutupnya daerah tersebut, warga setempat waktu itu menyebutnya sebagai Daerah Tutupan.
Setelah jalan dan pagar duri selesai dibuat, barulah Jepang membangun sekitar 29 benteng pertahanan beserta lograk (parit-parit yang menghubungkan antar benteng) dengan waktu pengerjaan selama delapan bulan dengan sitem kerja siang dan malam.
Konon kisah tragis kemudian berlangsung setelah benteng pertahanan tersebut selesai dibangun. Seluruh penduduk yang berada di dekat benteng semua diusir dan harta mereka boleh dibawa. Namun rumah-rumah warga yang tidak lagi berpenghuni dibakar oleh Jepang. Proses sterilisasi dilakukan bertepatan pada 1 Syawal, sekitar pukul 10.00 WIB. Benteng Pendem di Kalimaro pernah dikunjungi oleh Ir. Soekarno beserta Sultan Hamengkubuwono IX.
Pemimpin batalion Jepang di Kalimaro saat itu bernama Oeda Soecoe. Untuk pengamanan, waktu itu di setiap tapal batas tak lepas dari penjagaan serdadu Dai Nippon yang selalu aktif berpatroli.
Setelah Jepang mengalami kekalahan di Asia Pasific, kekuasaan Jepang di Daerah koloninya satu persatu lepas, termasuk Indonesia. Pemerintah Jepang diakhir sejarah pendudukannya di Kalimaro memerintahkan tentara Dai Nippon untuk membuang semua persenjataan berat ke laut selatan dan beberapa bagian di pantai Congot.

Benteng Perekam Sejarah Pendudukan Jepang
Benteng Pendem memiliki 29 komplek yang tersebar di areal seluas 500 hektar. Delapan benteng yang tersisa hingga saat ini berbahan dari cor beton masih terlihat utuh meskipun tak terawat. Material penyusun benteng berupa campuran batu bata halus, batu kerikil, kapur polasi dan berkerangka besi.
Tebal dinding benteng mencapai 35-60 cm. Sementara 21 benteng lainnya terbuat dari bahan kayu jati gelondongan. Namun peninggalan berharga itu sudah tidak ada, karena habis dimakan rayap dan dimanfaatkan warga untuk membangun rumah warga yang telah dibakar oleh Jepang usai pembangunan benteng.
Dari 8 benteng yang tersisa, memiliki ciri khusus yakni letaknya yang berjauhan. Ukuran benteng kecil-kecil yang dihubungkan dengan selokan bernama lograk. Antara bangunan satu dengan lainnya berbeda bentuk, disesuaikan dengan fungsinya. Posisi benteng kebanyakan menghadap ke dataran yang lebih rendah ke arah laut selatan. Letaknya juga cukup strategis untuk pengintaian yaitu berada di lereng dan puncak bukit. Lokasi yang cukup tertutup membuat benteng tersebut akrab dikenal dengan Benteng Pendem. Dan benar, ketika penulis datang ke sana, banyak bangunan benteng yang hanya terlihat pintu atau lobang pengintainya saja.
Kedelapan benteng yang masih berdiri hingga saat ini, diantaranya:
Benteng Penangkis Serangan Udara Dan Pengintai Laut Selatan
Dilihat dari fungsinya, benteng tersebut dibuat untuk menangkis serangan udara dan untuk mengintai musuh yang berada di laut selatan. Komplek benteng ini memiliki satu ruangan utama selebar 3 m, panjang 4 m dan tinggi 1,2 m.
Selain itu ada ruangan kecil yang diduga sebagai tempat para opsir beristirahat dengan ukuran lebar 1 m, panjang 2 m dan tinggi 1,2 m. Terdapat juga ruangan sangat kecil yang belum diketahui fungsinya dengan lebar 0,5 m, panjang 1 m dan tinggi 1,2 m. Ruang terakhir dalam benteng tersebut yaitu sebuah ruang tertinggi yang dipergunakan untuk pengintaian dengan ukuran lebar 0,5 m, panjang 0,5 m dan tinggi 0,5 m. Sementara penghubung ruangan utama, terdapat sebuah tangga terbuat dari besi dengan diameter 3 cm.
Untuk masuk ke dalam benteng tersebut pengunjung bisa masuk dari dua pintu kecil. Ukuran pintu itu terlalu kecil sehingga menyebabkan setiap pengunjung harus merunduk jika ingin masuk. Benteng tersebut juga dilengkapi dengan lubang udara (fentilasi) berbentuk jendela ukuran kecil sebanyak empat buah.
Benteng Pusat Komunikasi
Kondisi benteng yang difungsikan sebagai pusat komunikasi tersebut saat ini hanya terlihat pintu masuk serta jendela saja karena sudah tertimbun tanah. Pengunjung yang datang juga tidak sulit untuk masuk karena kandungan oksigen cukup terbatas.
Ukuran benteng sama dengan benteng pengintai dan penangkis serangan udara, yaitu terdiri dari dari satu ruangan utama dan beberapa ruangan kecil lainnya. Diduga Jepang juga melengkapi benteng ini dengan radar serta peralatan komunikasi radio jarak jauh. Konon disinilah para perwira Jepang memperoleh informasi dari luar kawasan itu serta mendeteksi serangan musuh.
Benteng Amunisi Pemasok Persenjataan
Benteng amunisi, terdiri dari dua pintu masuk dan dua ruangan berbentuk persegi panjang. Melihat ukurannya, benteng ini terhitung paling panjang dan paling besar bila dibanding benteng lainnya. Terdapat dua pintu masuk berukuran 1 m, panjang 5 m dan tinggi 1,2 m. Masing-masing ruangannya berukuran sama yaitu lebar 2 m, pajang 6 m dan tinggi 1,2 m. Konon dua ruangan ini dipakai oleh serdadu Jepang untuk menyimpan senjata dan amunisi. Letaknya lebih tersembunyi dibanding benteng lainnya, mungkin dimaksudkan agar sulit ditemukan musuh.
Benteng Penjagaan
Benteng penjagaan sesuai fungsinya dipergunakan serdadu Jepang untuk berjaga-jaga sekaligus sebagai tempat tinggal para opsir dan perwira. Diperkirakan setiap benteng dihuni oleh kurang lebih 43 tentara Heiho. Ukuran benteng lebih kecil dibanding benteng penangkis serangan udara dan juga tanpa dilengkapi lubang pengintai. Jika dilihat dari luar hanya nampak bagian muka dengan pintu yang sempit sekali. Bahkan sebagian besar bagian benteng terpedam di dalam tanah. Benteng jenis ini yang paling banyak jumlahnya, letaknya pun berpencar dan sangat strategis, jangkauan pandang hanya sekitar 3 m.

sumber : http://bloggerkemiri.blogspot.com/2009/12/benteng-pendem-sebuah-kenangan-yang.html

Kamis, 28 Oktober 2010

Ternyata ada beberapa lagu campursari yang berkisah tentang wisata Purworejo dan telah di upload di youtube, walaupun kota kita (Purworejo)adalah kota kecil namun ada juga yang menyempatkan diri untuk melagukan dan mengabarkan Purworejo ke dunia lewat lagu campursari. Meskipun lagu tersebut kurang diminati oleh warganya sendiri terbukti jarangnya lagu tersebut diperdengarkan di khalayak ramai, mungkin karena kemasannya yang kurang menarik dari segi nada atau pun syairnya...Tapi tak masalah, sebagai warga pribumi harus tetap bangga dengan para komposer dan seniman lokalan tersebut yang menyuarakan Purworejo dan ucapan terima kasih kepada youtube dan para uploader...

Di bawah ini adalah tampilan video campursari yang di embed dari youtube, untuk cara downloadnya, anda cukup klik link download mp4 di bawah embed video tersebut kemudian ubah extention-nya menjadi mp4.

Gambar Curug Seneng

Benowo, Aset Wisata Yang Belum Terjamah


Mungkin tak semua bloger Purworejo mengetahui keberadaan desa Benowo yaitu desa di ujung timur-utara (timur laut) kabupaten Purworejo, tepatnya di kecamatan Bener. Desa ini berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Magelang.
Jalan aspal yang mulai rusak dan menanjak tajam serta dikelilingi tebing curam adalah satu-satunya akses ke dalam desa ini, tepatnya 10 km dari Kaliboto ke arah timur.
Pemandangan alam saat menuju desa ini sangat indah sekali, bukit-bukit yang meruncing dikelilingi kabut tipis dan hawa dingin yang menerpa membuat jiwa menjadi segar, sangat cocok untuk tempat refreshing.
Ketika anda berada di desa ini, anda tak akan menyangka bahwa Purworejo juga mempunyai tempat sedingin pegunungan. Air pancuran seperti es, dengan kabut menyelimuti saat hari mulai sore, pokoknya wisata banget deh...
Desa ini juga penghasil cengkeh terbesar di Kabupaten Purworejo, ratusan pohon cengkeh tumbuh dengan subur di desa ini, terbilang sampai ratusan tenaga buruh pemetik cengkeh yang datang dari luar ketika musim panen cengkeh, sehingga tak heran kalau di desa ini terdapat perusahaan tempat penyulingan cengkeh.
Beberapa tempat bagus dan menarik dipunyai oleh desa ini, misalnya curug, gua dan bukit yang cocok untuk perkemahan (Gunung Kunir).
Jadi untuk dijadikan desa wisata atau hutan wisata sebenarnya Benowo sudah memenuhi syarat.
Lagi-lagi dinas berwenang setempat kurang memperhatikan aset ini.
Dilhat dari jalan yang merupakan akses satu-satunya ke desa ini saja tak diperhatikan, padahal kontribusi hasil cengkeh dari desa ini cukup besar.
Di bawah ini beberapa foto aset wisata Benowo (kiriman Mas Iwan):